Banda Aceh - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Saiful Bahri (Pon Yaya) mengantarkan surat tembusan terkait kebutuhan anggaran penguatan perdamaian kepada Presiden Republik Indonesia, Kamis, 2 Maret 2023. Selain itu, Ketua DPR Aceh yang turut menemui Menkopolhukam Mahfud MD bersama-sama dengan Wali Nanggroe juga membahas sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi saat konflik Aceh.
Pertemuan tersebut berlangsung selama 90 menit yang dimulai sejak pukul 11.00 WIB di ruang kerja Kemenkopolhukam, di Jakarta.
Hadir dalam pertemuan tersebut Wali Nanggroe Aceh PYM Teungku Malik Mahmud Al-Haytar, Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Masthur Yahya didampingi Yuliati, Staf Khusus Wali Nanggroe H. Kamaruddin Abu Bakar atau Abu Razak, Teuku Kamaruzzaman atau Ampon Man, dan DR. M. Raviq, serta Kabag Humas dan Kerjasama Wali Nanggroe M. Nasir Syamaun MPA.
Saiful Bahri mengatakan anggaran penguatan perdamaian tersebut merupakan isi dari poin 3.2.5 MoU Helsinki, yang di dalamnya disebutkan, “Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak.”
Data yang diperoleh DPR Aceh, saat ini terdapat lima ribu jiwa warga Aceh yang merupakan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu, berdasarkan catatan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Data tersebut kemudian diserahkan KKR Aceh kepada Menkopolhukam secara resmi yang turut disaksikan Ketua DPR Aceh bersama PYM Wali Nanggroe Teungku Malik Mahmud Al-Haytar.
Mahfud MD mencatat dengan baik isi pertemuan tersebut. Dia menyebutkan akan menggelar pertemuan lanjutan terkait kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Selain itu, Mahfud mengatakan akan menyampaikan isi pertemuan tersebut kepada Presiden RI, Joko Widodo.
“Insya Allah, Presiden akan membuat launching pemulihan korban konflik yang akan dimulai dari Aceh,” ujar Pon Yaya.
Seperti diketahui, Presiden RI Jokowi telah mengumumkan pengakuan negara terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Dari jumlah tersebut, tiga diantaranya merupakan kasus pelanggaran HAM berat terjadi di Aceh seperti kasus Rumoh Geudong-Pos Sattis, Jambo Keupok, dan Simpang KKA.
“Yang kita ketahui bersama bahwa pelanggaran HAM berat di Aceh bukan hanya tiga titik, tetapi pelanggaran HAM di Aceh lebih banyak lagi,” kata Ketua DPR Aceh seraya mendesak Komnas HAM agar segera membentuk tim supaya KKR Aceh sinkron dalam bekerja.
Dalam pertemuan tersebut, rombongan dari Aceh menjelaskan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh juga terjadi pasca damai, seperti kasus pembantaian di Atu Lintang, Takengon.
Kepada Mahfud MD, Wali Nanggroe menceritakan, pasca kasus Atu Lintang terjadi, ia turun langsung ke lapangan untuk meredam suasana yang semakin memanas. “Alhamdulillah, meskipun suasana di lapangan saat itu sangat panas, kita masih bisa mempertahankan perdamaian Aceh,” kata Wali Nanggroe.
“Kita sangat komit dengan perdamaian ini, dan kita juga ingin Pemerintah Pusat komit dengan apa yang telah diatur dalam MoU Helsinki dan UUPA,” tambah Wali Nanggroe.
Sementara itu, Abu Razak yang merupakan mantan Panglima Operasi GAM semasa konflik menyampaikan, pihaknya tetap komit dengan perdamaian. Selama ini, pihaknya terus berupaya menjaga stabilitas 50 ribu mantan kombatan GAM di lapangan.
“Dan itu (menjaga stabilitas mantan kombatan GAM) bukan perkara mudah,” kata Abu Razak.
Hingga saat ini, tambah Abu Razak, pihaknya terus mendapat desakan-desakan di lapangan terkait implementasi secara menyeluruh butir-butir perjanjian damai Aceh, dan pasal-pasal dalam UUPA. Selain itu pemerintah juga memiliki tanggung jawab lain yang harus dirawat, yaitu anak-anak korban konflik yang saat ini telah beranjak dewasa. Anak-anak korban konflik tersebut saat ini ada ingin menempuh pendidikan atau bahkan yang sedang menempuh pendidikan dan tentunya perlu mendapat perhatian dari pemerintah.[Parlementaria]